Source. Pinterest
Kompleks.
Kadang aku melihat sosialita dengan ribuan gayanya. Berlenggak lenggok seolah dunia berada dalam genggaman. Bertindak sesuka hati seakan akan tak akan pernah hidup susah dan butuh bantuan. Hidup selalu diatas dan inilah hidupku, pikirnya selalu tanpa pernah mengindahkan juluran tangan genggaman orang lain atau dapat kita katakan orang-orang yang tidak setingkat dibanding dirinya yang kayaknya punya segalanya.Menenteng dengan bangga dua tiga ponsel kenamaan dunia yang praktis buatan luar negeri. Tidak lupa cekrak cekrek sana sini mengabarkan pada dunia dimana dan sedang apa disertai caption lokasi. Ah, untuk lokasi kenamaan pasti tidak lupa ditandai. Sibuk pula menscroll leisure kunjungan teman-teman setingkatnya itu dan mulai menjelajahi tempat itu satu persatu tak pernah lelah untuk mendapat sanjungan.
Makan? Kebutuhan makanan tidak dilihat lagi harga dan gizinya. Tidak. Justru yang dipilih adalah makanan dengan kenamaan yang menurutnya keren dan barat banget. Lagi pula soto, bakso, rendang dan opor ayam sebagai makanan lokal mana mau mereka. Tidak kok, mungkin ada sebagian yang masih mau atau mencicipinya untuk mendapatkan respect keluarganya. Oh enak. Hanya itu.
Haha.
Bicara apa aku ini seolah-olah tau gaya sosialita mereka yang tidak sama sekali membumi.
Ohiya. Barusan aku juga dilihatkan bapak paruh baya berteriak, "sapu sapu" sambil terus berjalan lalu menghilang. Berjalan membungkuk bungkuk karena beban berat di punggung. Kaos koyak sedikit sudah syukur bisa dimilikinya. Alas kaki pun hanya sekedarnya. Mana bisa berfikir harus skin care dulu sebelum berangkat berkeliling menjajankan dagangan yang entah terjual habis kapan.
Ditengah tuntutan istri yang selalu membanding-bandingkan, belum lagi rengekan anaknya yang bersekolah dan mendesak ayahnya agar dia bisa berkehidupan seperti teman lainnya. Tak bisa terpikir lagi apabila kesakitan mulai meradang sekujur tubuh bapak paruh baya itu. Tak ada cara lain untuk mengemis atau bergelandang yang kayaknya melebihi hasil jualan halalnya itu. Mengambil bukan hak milik mulai menjadi nyanyian rutin sebelum fajar menyingsing dan orang-orang mulai jungkir balik meniti kehidupan.
Dengan senyuman miris tak bisa bedakan lagi mana dosa mana bukan. Dengan segepok uang hasil ambil kotak infak masjid ratusan perak, dia bertatih pulang. Eh belum sampai di rumah, sudah diserbu babak belur. Lain ceritanya untuk tikus-tikus jahanam negeri yang merenggut milayaran rupiah dengan bangganya. Wajah mulus dan terurus meskipun dalam jeruji tahanan yang tiap tahun selalu berkurang.
Eh jeruji apanya.
Pulang kerumah megah, tiduran sebantar pun tak masalah kok.
Sekelumit sedikit tentang Jakarta.
Tidak tahu kalau kota besar lain.
Satu lagi.
Jakarta itu..
Kompleks
Bisa menularkan gaya hidupnya kepada orang2 yg bahkan menginjakkan kaki di jakarta pun belum pernah, tapi gayanya sudah selangit persis spti sebutan ke-"Jakarta"-an.Heh gue udah ini itu masa lu belum blabla.
Ga salah sih. Lucu aja.
Atau bahkan yg masih kental dengan malu2in khas anak kampung bagi perantau di jakarta.
Mas, saya ini dimana nggih?
Yha. Jawa mana mbak?
Ketebak dengan mudahnya asal muasal. Tinggal bersiap saja jadi sasaran empuk (jangan sampaaaai).
Menarik. Semuanya. Mungkin aku bakal merindukan ketimpangan Jakarta karena telah menjadi kota rekam jejak kehidupanku. Hehe.
Kamar Kosan, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar