Follow Us @soratemplates

15 Feb 2020

Ngikut Ngawas Sakernas Pertama Kali

Februari 15, 2020 1 Comments

asdfghjklzxcvbnmqwertyuiop

Begitulah yang terdengar di telingaku. Asing. SANGAT. Selayaknya sedang pergi keluar negeri. Ah tidak. Aku masih bisa berbahasa inggris. A little bit but not an expert or something, whatever lah. Apakah aku akan bertahan disini? Bagaimana jika pada saat pencacahan aku tidak mendapatkan responden yang dapat bercakap menggunakan bahasa Indonesia. Mm mungkin itu masih dapat dibantu oleh mitra-mitra yang tidak hanya bisa berbahasa daerah setempat juga mengerti tentang medan. Tidak apa-apa, belum genap seminggu kok aku merantau disini. Kedepannya, dipikir nanti. Tapi bagaimana ketika aku membutuhkan suatu bantuan dan harus berbahasa bugis? Tidak tahu. Hehe.

AKU TIDAK BISA DAN TIDAK MENGERTI BAHASA BUGIS.
=====================================================================================

Pagi ini aku diajak Kak Win untuk mengunjungi kecamatan paling ujung di Kabupaten Pinrang, Suppa. Ajakan ini berhubungan dengan pengawasan yang akan dilakukan oleh Kak Win terkait pencacahan Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), nama survey yang cukup sering dikenalkan ketika aku masih bersekolah (ecielah sekolah, iyala sekola tinggi ilmu setatistik). Perjalanan dari kantor yang terletak di pusat kota Pinrang (Wattang Sawitto), menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 menit. Jalan yang kami lalui ditemani oleh banyak pepohonan yang ringan serta kanan kiri sawah terbentang luas. Wah cukup menarik untuk ubinan #ngawur, pikirku dalam hati.

Masuk kecamatan Suppa, jalan yang kami tempuh cukup terjal. Belum terlalu bagus. Tapi itu normal sih. Di Jawa pun sama. Ada juga yang belum mulus jalannya. Terkadang harus melalui lubang jalan yang cukup dalam dan tidak kelihatan untuk jarak pandang sekian meter. Tetap bagus nih untuk sepeda motor jenis bebek yang bandel. Lain hal nya jika motor matic, harus siap-siap 'kejeglung' ria untuk beberapa saat (meskipun motor bebek pun sama sih, hanya tidak terlalu parah).

Bagi teman-teman yang belum paham tentang SAKERNAS, ini aku ada penjelasan singkat ya terkait hal itu. Jadi, SAKERNAS adalah salah satu sumber data ketenagakerjaan yang penting di Indonesia. SAKERNAS ini juga sangat bermanfaat, buktinya, sudah banyak pihak yang menggunakannya. Jangan salah, tidak hanya sebatas dalam negeri saja, pihak-pihak asal luar negeri juga banyak yang mencari loh.

SAKERNAS di Kecamatan Suppa untuk rumah tangga (ruta) yang menjadi ruta terakhir di blok kami atau ruta pertama yang kami datangi pagi ini letaknya tidak terlalu masuk pada sebuah gang yang berbatasan dengan jalan utama masuk Kecamatan Suppa. Rumahnya berjenis panggung, jenis rumah yang masih asing dan sangat menarik bagiku. Yap. Pemandangan langka bahkan belum pernah aku temui di Jawa.

Biasanya dibawah rumah panggung disediakan semacam amben(?) yang dijadikan orang yang tinggal di rumah itu untuk duduk-duduk bersantai ria. Suasana di bawah rumah sangat rindang, meskipun tempat sekeliling yang tidak tertutup rumah sangatlah panas. Kondisi yang sangat identik dengan wilayah pedesaan sangat kental disini (iyalah namanya juga desa, mau di Jawa atau Sulawesi sama). Banyak ayam peliharaan kesana kemari. Dan, oh, aku juga tadi dalam perjalanan menemui anjing peliharaan. Tapi itu saat masih di kota sebelum masuk kecamatan Suppa sih.

Pertanyaan di SAKERNAS sejatinya cukup sederhana. Lamanya hanya di perulangan setiap anggota ruta yang berumur 5 tahun keatas yang berulang kali ditanyakan dengan pertanyaan yang sama antar anggota ruta. Susahnya, diketawain. Hehe. Pertanyaannya terkadang dianggap lucu oleh responden. Aku kira biasa saja pertanyaannya. Cuma ketika dititik sebelah mana tiba-tiba saja isi satu rumah tertawa saja. Aku refleks meringis, tertawa sedikit. Entah apa yang mereka tertawakan. Sulitnya ada tidak? Ada, jawab petugas cacah lapangannya sambil senyum-senyum. Susahnya mengklasifikasikan jenis pekerjaan tentunya. Hal itu karena di lapangan, jenis pekerjaan akan terpecah menjadi banyak sekali dengan kriteria masing-masing.

Ruta selanjutnya. Horor. Kakak mitra kami sempat memperingatkan, hati-hati. Pasalnya, biasanya ketika masuk kebun yang kami lewati untuk masuk ruta ini, pasti ada yang mengikuti. Laki-laki katanya. Nah horornya adalah, laki-laki itu buka c3lan4. Okay, sudah tahu kan kelanjutannya? Nah. Saat kami pulang, laki-laki itu muncul. Tepat saat kami akan pulang. Aku yang tidak sadar, langsunglah berpaling melihat belakang, sungguh, beneran aku tidak tahu kalau dibelakang ada laki-laki itu. Tidak kok. Aku tidak lihat bagian bawahnya. Ibu responden yang baru saja kami wawancarai berkata bahwa, dia agak tidak waras. Duh…

Kami menunggu dengan sabar dan was-was selama 2 menit deh. Ibu ruta sampel kami untungnya baik, dan mengusir laki-laki itu sekaligus mengawasi jalan sampai kami pergi. Salutnya lagi untuk ibu itu adalah beliau menyiapkan dokumen-dokumen seperti KK dan kawan-kawannya agar memudahkan pencacah menuliskannya dalam kuesioner. Sisanya, tidak paham. Saya tidak bisa dan tidak paham apa yang mereka bicarakan.

Hampir sebagian besar wilayah di Kecamatan Suppa, memanjang di bibir pantai yang bernama Lowita. Pantai itu merupakan ujung dari Selat Makassar apabila dilihat dari daratan Sulawesi. Selat Makassar menghubungkan antara daratan Kalimantan dan Sulawesi. Pantai disini memiliki ombak yang tidak terlalu ganas. Hanya panas. Sedikit. Rasanya jauh sekali memandang kelautan menelisik Pulau Kalimantan diujungnya. Rindu, #ngawurpart2 #skip. Hehe.

Beberapa ruta terakhir benar-benar berada di bibir pantai. Yap, Pantai Lowita. Aku sempat mendekati bibir pantainya untuk memandangi laut dari kejauhan. Kata Kak Win, lautan yang luas itu adalah Selat Makassar. Aku memandangi ujung lautan itu dengan dalam. Ingin ke Kalimantan timur.. Ingin bertemu dengan banyak hal. Termasuk… #skipkeras

Pulangnya, aku ditraktir Bakso Solo sama Kak Win. Yeay terimakasih kak. Belum sempat aku mengucap apa yang ingin aku pesan, tiba-tiba mas-mas pedagangnya nyletuk dengan bahasa Jawanya yang kental, Badhe nopo Mbak (mau yang mana mbak)? Sejurus kemudian, langsung kupilih, bakso biasa. Pada saat kami sibuk makan, mengalunlah music jawa (MUSIK AMBYAR) yang sepertinya dimainkan secara live. Uh aku rindu banget dengan Jawa.

Waktu pada saat itu sudah menunjukkan pukul 4 sore lebih. Semuanya seru. Pengawasan yang dilakukan. Medan yang kami tempuh. Orang-orang disini juga sangat ramah. Sayangnya, kakak mitra kami belum terlalu mensosialisasikan Sensus Penduduk (SP) Online. Perlu diketahui juga, ruta terpilih yang kami datangi pun hanya ruta biasa, sehingga apabila dilakukan sosialisasi pun mungkin hanya terbatas dilingkup keluarga yang tinggal di rumah itu saja, begitu pertimbangannya. Sekalinya, sosialisasi sudah terucap, ternyata rumah tangga yang kami datangi tidak memiliki smartphone. Jadi, aku akan mensosialisasikannya disini saja, bagi pembaca online-ku, dimanapun kalian berada, jangan lupa sukseskan SP2020 Online, #mencatatIndonesia. Kunjungi:

sensus.bps.go.id

 dalam 5 menit saja kok! Mulai HARI INI (15 FEBRUARI) HINGGA 31 MARET 2020.

Pinrang, 13 Februari 2020

Kajian Pertama di Pinrang

Februari 15, 2020 1 Comments

Hari ini, selasa, 11 februari, belum ada seminggu aku berada di bumi La Sinrang, kusempatkan diriku untuk belajar banyak hal. Termasuk kajian yang kadang aku luput untuk menghadirinya ketika aku masih di Jakarta. Lebih karena terbuai oleh kemewahan kota yang tiada bandingnya dibandingkan di daerah lain di Indonesia menjadi alasan kesalahanku saat berada disana. Hehe. Memang yang terlalu berlebihan pun tidak baik.

Suasana kabupaten Pinrang, tepatnya di Wattang Sawitto yang kadang sejuk, kadang pula panas, tidak jarang juga hujan, menjadikanku ikut penasaran juga tentang 'rahasia' wilayah disini. Katanya untuk bisa betah disuatu wilayah, kamu harus menjadikan wilayah yang kamu tempati, andaikanlah seperti rumahmu. Ah ngomong apasih aku. Intinya, aku berusaha menjadikan kabupaten Pinrang menjadi destinasi favorit tempat dimana aku akan tinggal dan merantau beberapa waktu kedepan.

Alhamdulillah wa syukurillah. Allah menunjukkan aku wilayah yang cukup bagus, dekat dengan kantor, masjid. Meskipun Pinrang belum ada mall (mall yang ada saat ini tidak terhitung ya hehe), cukup membuatku ngirit. Iyalah, menabung untuk masa depan. Bela beli ini itu tentunya dalam rangka aktualisasi diri menjadi lebih baik kedepannya. Halah. Aamiinkan saja ye.

Kajian pada malam rabu ini, ditemani oleh Bu Rat, bukan ibuku, meskipun namanya sama. Aku tidak tahu apakah beliau ikut ngekos atau keluarga dari ibukos. Hanya ibu tersebut sangat baik. Mengetok pintuku, disaat aku sedang hopeless-nya, kira-kira ada teman atau tidak untuk kajian. Biasanya ada aneesh yang menunggu di ujung gang. Saat ini, Bu Rat menjadi temanku di daerah penempatan, selain ibu kos dan kakak-kakak pegawai.

Sepertinya, masjid yang aku datangi ini beraliran sunnah. Kajiannya bagus. Tapi. Sayang bangeeeet. Aku membawa hape, jadi pikiranku tidak fokus. Aku terlalu banyak main hape ketika ustadnya memberikan ceramah sehingga catatanku berantakan. Entah itu karena bapak Ustadnya ceramah lompat-lompat, atau aku yang tidak memperhatikan. Ah, pasti aku deh yang salah. The blame is on me lah pokoke kalau masalah agama karena masih sangat dangkal. Kajian itu berlangsung hingga adzan isya berkumandang.

Setelah mengakhiri solat Isya, aku kemudian meminta izin untuk berpisah dengan ibu Rat yang sedari tadi menemaniku. Selanjutnya, aku berjalan sendiri. Aku sengaja pergi menyusuri jalan menuju toko kelontong modern terdekat. Sepanjang perjalanan entah kenapa setiap langkahnya terasa berat. Biasanya, entah dimanapun, disekitar kos, aku menjumpai teman sekolahku, setidaknya berpapasan. Tapi perjalanan kali itu, lebih dari itu. Semuanya terasa berat. Di dunia yang sangat asing dengan bahasa daerah yang tidak kumengerti, dengan orang-orangnya yang sama sekali tidak kukenal. Sekali lagi, aku tanyakan pada diriku sendiri, apakah aku bermimpi? Besar harapanku untuk mimpi yang kesekian kalinya adalah mimpi yang nyatanya benar mimpi. Aku ingin terbangun. Bangun dikosanku yang di Jakarta pasti mengasyikkan. Aku bisa mengetok kamar dek Lin untuk numpang solat, atau sekedar membangunkan si Val, atau mencuci dengan menghirup udara pagi Jakarta yang sedang sangat kurindukan.

Tapi kali ini tidak. Aku berjalan sendirian.

Akhirnya, sampai kos, tangisku tumpah. Haha. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ini semua mimpi. Berpisah dengan teman satu angkatan atau orang-orang dekat yang sudah terbiasa tinggal di sekeliling. Hari itu, aku sudah mulai merantau sendiri. Di sebuah kabupaten yang sangat jauh dari rumah. Sudah bukan jauh lagi sepertinya. Tapi, kini, aku berada di pulau yang berbeda dengan ayah, ibu dan kedua adik-adikku. Aku disini tanpa keluarga (baca. Keluarga bepees tidak terhitung loh ya). Hehe tambah mellow saja. Untung aku masih ada teman yang dapat diajak ngobrol. Meskipun lewat telfon, aku merasa tidak sendiri. Meskipun hanya diiya-iyakan dan menemani sampai tangisku kering. Itu sudah sangat jauh lebih baik.

Btw, terimakasih Jakarta akan cerita dan kisah-kasihnya. Satu hal yang baru aku tahu, Jakarta diciptakan, hanya untuk tempatku singgah, bukan menetap. Tapi aku sangat-sangat bahagia!

Pinrang, 12 Februari 2020

Penempatan, Gembira!

Februari 15, 2020 1 Comments
Sekarang kerja dimana?
Dapat wilayah mana?
Kenapa memilih wilayah itu?
Dan pertanyaan lain yang menjadi momok tersendiri bagi kami, alumni sekolah kedinasan yang harus memenuhi janji kami untuk mengabdi di pelosok negeri tanpa terkecuali. Berat memang bagi kami, untuk meninggalkan keluarga di kampong halaman untuk mengabdi pada negeri. Ayahku sendiri berkata dan sudah iklas melepaskan kalau memang inilah jalan anak beliau untuk berbagi kepemilikan (anaknya) antara ayah dan negara.

“Kamu sudah bukan anak ayah lagi secara 100%. Tapi ayah harus rela hanya mendapatkan 50%, 50% lain untuk negara karena kamu saat ini sudah menjadi anak negara”, ujar Beliau sebelum aku berangkat kembali ke Jakarta setelah meminta doa restu agar selamat dan mendapatkan keberkahan di wilayah perantauan selanjutnya. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya dapat diam. Benar kata ayah dan aku tidak bisa menyalahkan juga perkataan beliau meskipun hanya untuk sekedar menghibur.

Hehe. Dilema penempatan sebenarnya bukan hanya ada pada diriku. Tapi semua orang yang terikat pada ikatan dinas ini. Apalagi bagi orang-orang pada zaman dahulu yang beranggapan bahwa tinggal di luar Jawa selayaknya akan tinggal di luar dunia. Hehe. Pikiran yang menurutku agak ‘kolot’. Mengapa? Kita tidak bisa menghakimi wilayah lain seperti itu. Lagipula, ditempat perantauan dimanapun pasti banyak juga perantauan Jawa. Masih lah bisa bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa, kalau bertemu. Disisi lain, pengalaman (karena masih muda) akan sangat banyak. Bisa merantau dan menimba ilmu ke wilayah lain yang sungguh jauhnya tidak terkira pada saat kita masih muda tentunya memiliki andil penting membentuk kepribadian yang lebih baik kedepannya.

Alhamdulillah, tempat merantauku selanjutnya masih didekat Pulau Jawa yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Pinrang. Nah, jawaban itu untuk menjawab pertanyaan pertama mengenai ‘sekarang kerja dimana’ yang orang lain sering lontarkan. Provinsi Sulawesi Selatan menjadi titik yang baru aku lihat pada waktu-waktu terakhir penempatan. Awalnya sih ngejar, kalau bisa di Kalimantan ya Kalimantan saja. Namun anggapan begitu lalu pupus ketika banyak kakak tingkat mengenalkan bahwa wilayah di Kalimantan sangatlah luas. Bisa jadi waktu yang diperlukan lokasi tujuan dapat mencapai berjam-jam. Itu masih rentang wilayah antar kecamatan loh. Aku langsung menelan air ludah ketika mendengarnya. Iyalah. Aku yang notabennya masih mual-mual apabila menaiki mobil dan lainnya (kecuali roda 2 dan 3 y) dihantui banyak ketakutan dong kedepannya. Padahal awalnya sudah mantap Kalimantan Barat. Kenapa? Karena sepertinya menarik. Lagipula, kata nenekku, ada saudara yang tinggal di sekitar Pontianak. Beberapa alasan itulah yang mengubah pilihanku tidak lagi wilayah Kalimantan.

Sejurus kemudian, ayah kemudian menyarankan, bagaimana bila mencoba Sulawesi Selatan? Aku bergumam, ohiya benar juga. Ayah pernah menghabiskan beberapa tahun ketika beliau masih muda di Makassar, menempuh pendidikan S2 di Universitas Hasanuddin. Aku tanpa babibu, mencoba peruntungan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan perkiraanku, insyaAllah aku bisa masuk dalam kuota Sulawesi Selatan, hanya jika tidak sampai ditikung beberapa kali. Setidaknya apabila ditikung sekali oleh teman sendiri (yang mengubah pilihannya pada simulasi dengan hasil akhir) tidak mendapatkan posisi yang rentan kegusur ke wilayah provinsi lain. Bismillah saja. Apabila sudah jalannya, maka Allah akan menunjukkan.

Permasalahan selanjutnya, kabupaten manakah yang akan aku pilih. Sejatinya, kriteria pilihanku tidak muluk-muluk dan aku sadar juga akan diriku yang memiliki nilai tidak terlalu bagus (saya gak pencit heheh). Sehingga, satu-satunya harapanku adalah diberikan Kabupaten yang kondisi geografisnya tidak naik turun gunung apabila dari Makassar. Kembali lagi pada poin pertama, aku gampang mual! Oleh karena itu, aku menanyakan hal itu kepada kakak tingkat yang aku kenal yang mendapatkan penempatan di wilayah dengan provinsi yang sama. Sambil menunggu jawaban dari kakak tingkat, aku iseng juga menanyakan wilayah kabupaten yang akan teman-temanku pilih, praktisnya yang memiliki peringkat diatasku. Aku sempat agak emosi lantaran ada temanku yang sangat plin-plan terkait pilihannya. Harus kuakui, memang dalam penentuan  wilayah penempatan itu tidak main-main pentingnya, karena kita tidak satu atau dua hari saja menetap di kabupaten tersebut. Aku hampir saja ingin bodo amat, memilih kabupaten yang sudah aku impi-impikan sejak semalaman. Tapi aku tidak boleh berfikir konyol. Akhirnya, karena plin-plannya jawaban temanku tersebut, aku pastikan kembali ke dirinya di jam-jam terakhir sebelum deadline pengumpulan form penempatan, dimanakah wilayah yang dia pilih. Mendengar jawabannya, aku kemudian mengikat 1 wilayah kabupaten itu menjadi cita-citaku yang kuharapkan insyaAllah permanen. Disisi lain, kakak tingkat pun memberikan aku jawaban. Jawabannya satu, Pinrang. Persis dengan cita-citaku sejak pagi di hari terakhir pengumpulan form penempatan. Masalah prioritas pertama untuk penempatan terselesaikan.

Memilki peluang cukup tinggi untuk terpilih di wilayah Sulawesi Selatan, membuka pintu lebar bagiku untuk menempatkan wilayah dengan provinsi yang sama menjadi pilihan keduaku. Aku memilih kabupaten lain yang kira-kira terbagus kedua setelah Pinrang (lupa hehe), tentunya ditentukan lagi oleh kabupaten-kabupaten mana saja yang terbuka stoknya, karena tidak semua kabupaten membuka kuota baru. InsyaAllah, pada saat itu, aku sudah yakin, apabila tidak diterima di pilihan pertama, aku masih lah bisa diterima di pilihan kedua. Bagaimana dengan pilihan ketiga? Aku memilih provinsi asal saja (jangan ditiru), bahkan kuakui, aku sudah lupa apa pilihan ketigaku, antara Sulawesi Tenggara, Barat, Utara, haduh sudah lupa! Pesan menarik dari kakak tingkat dari opsi 3 pilihan wilayah penempatan yang diberikan, pilihan pertama, cita-cita, pilihan kedua berkutat pada wilayah yang paling realistis (yakin diterima) dan pilihan ketiga, pilihan yang PASTI dan HARUS diterima (tapi jangan berharap diterima di pilihan ketiga) karena fungsi pilihan ketiga adalah menjaga agar jangan sampai mendapatkan wilayah lain diluar jangkauan.

Benar saja. Ketika hasil penempatan keluar, aku sangat bersyukur. Pinrang, Sulawesi Selatan! Aku diterima di Pinrang. Begitu senang hatiku ketika membaca pengumuman penempatan. Alhamdulillah. Tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui tentunya. Hal itu karena hanya ada satu kuota, aku sendiri. IYA AKU SENDIRI YANG BERTUGAS DI PINRANG. Pada awalnya aku menganggap remeh akan hal itu. Aku masih tidak mengerti, aku dimasa depan ketika baru saja tiba di Pinrang, merasa sangat kesepian, ingin pulang, tidak ada teman (mungkin akan aku ceritakan di lain tulisan).

Sedihnya? Banyak!

Aku pernah terlintas untuk penempatan bersama dengan temanku. Aku nyaris diajak dan nyaris kuiyakan. Tidak ingin terpisah jauh menjadi alasan utama. Tapi, kuota agar kami dapat mendapatkan penempatan bersama tidak bisa kami ambil. Pertama, ayahku tidak setuju wilayahnya. Kedua, terkadang rindu yang menumpuk itu lebih baik. Hehe. Halah. Alasan kedua hanya penghiburan semata. Ayah yang tidak setuju, praktis membuatku mundur. Lagipula, orangtuanya juga tidak setuju. Tanpa penempatan bersama, temanku ini sudah mendapatkan kuota di kota di provinsi yang bersebelahan dengan aku (hanya harus berenang dulu untuk menggapainya). Sedangkan aku kabupaten. Tentunya pilihan antara kota atau kabupaten terkadang bukan pilihan yang sulit. Kira-kira bisa atau tidak masuk pada kuota di kota atau kabupaten dilihat dari realitas saja. Mayoritas yang memiliki nilai bagus akan membidik wilayah kota. Sederhana saja. Lihat saja waktu kedepannya. Sudah ikhtiar, biar Allah yang menentukan.

Hari demi hari mendekati hari kami penempatan, 4 Februari 2020. Hari itu bertepatan dengan hari Selasa. Hari Senin bagaimana? Masih masuk kantor. Belum packing dan belum siap mental menjadi alasanku ambyarlah di hari Senin. Teman-teman yang bertemu denganku antara pagi sampai siang melihatku biasa saja, tetap gembira. Tapi ketika jam sudah menunjukkan jam 3 sore, ketahananku sudah di batasnya. Aku menangis setiap kali bertemu orang-orang. Lebih kurang 1 jam lagi, aku akan menjadi kenangan ditempat ini. Bertemu Aci dan dengan pasrahnya aku bertanya, kapan bisa bertemu lagi? Mataku merah. Tidak bisa lagi menahan tangis. Tangisku pecah didepan lift gedung 1 lantai 7. Didepan Aci, teman yang kebetulan aku bertemu dengannya ketika sore hari, waktu ketika aku berada di titik terlemah sebelum penempatan.

Pulangnya, aku sengajakan naik ojek online. Meringkas waktu agar cepat sampai kos untuk packing, begitu tujuanku. Disetiap deru motornya, aku akan sangat merindukan Jakarta dan hiruk pikuknya. Termasuk kamu. Kalian semua. Semua yang sudah membuat cerita di empat tahunku belakangan ini. Aku masih ingat betul, betapa polosnya dahulu ketika baru sampai tiba di Jakarta. Aku hanya anak kecil yang tidak boleh pulang sampai larut (maghrib sudah ditelfon untuk pulang). Anak kecil yang masih bergantung pada orang tua. Tapi empat tahun lalu, aku mulai meniti kehidupan menjadi anak kos, di kota metropolitan, Jakarta.

Terimakasih juga untuk Ayah yang jauh-jauh dari Purwokerto setelah aku bercerita pada Beliau, teman-temanku diantar dengan keluarganya sampai bandara. Ayah mengambil kereta pada hari Senin selepas beliau dari kantor dan sampai Jakarta kurang lebih pukul 6 sore. Ayah membantuku packing dimana tidak mungkin sepertinya aku selesaikan packing sendirian malam itu. Barang-barangku bertumpah ruah sangat banyak. Ayah tidak tidur. Aku? TIdur hanya satu jam. Pesawatku berangkat jam 7 pagi ke Makassar sehingga kami berangkat dari kos pukul 3.30 pagi menuju Bandara Soekarno Hatta. Kurang lebih perjalanan kami hanya 20 menit menjangkau bandara. Waktu yang singkat bagiku melihat kanan kiri gedung pencakar langit yang mungkin tidak akan kulihat beberapa waktu kedepan. Ada Mbak Me juga yang membantu segala hal. Mbak sampai kos pukul 3an pagi sambil membawa tas untuk barang-barangku yang belum tertampung. Pokoknya kami bertiga bersama menuju Bandara.

Aku bersyukur. Pada hari dimana aku akan masuk melanjutkan check-in dan tetek bengek lain, aku tidak menangis didepan Ayah dan Mbak. Aku sudah berjanji pada diriku tidak akan membuat keduanya sedih karena perantauan diriku yang semakin jauh. Aku hanya cium tangan ayahku dan Mbak. Ayah mencium keningku dan mengatakan pesan-pesan ala kadarnya, seperti hati-hati dan berkabar ketika sampai. Sudah. Aku sangat senang bisa diantar keluarga sebelum aku meninggalkan Jakarta. Terimakasih banyak aku sampaikan untuk Ayah dan Mbak. Selain itu, untuk pihak keluarga serta handai tolan juga yang sudah mendoakan dari jauh.

Perjalanan menaiki pesawat sebenarnya sudah yang ketiga kali pada hari itu. Pengalaman pertama dan kedua, saat kami mengikuti PKL di Bengkulu. Tapi rasanya, naik pesawat yang jauh (2jam) membuatku merasa seperti kali pertama aku menaiki pesawat. Lagipula, aku juga sudah agak lupa rasanya naik pesawat saat kami PKL karena hanya 1 jam Jakarta-Bengkulu.

Menyambut dan mengalami penempatan merupakan salah satu pengalaman terbesarku saat ini. Entahlah. Dilema meninggalkan dan ditinggalkan oleh orang-orang terkasih memberikanku banyak pelajaran. Harus kuakui juga memang, aku mempunyai banyak teman dan TERSEBAR SECARA MERATA DI SELURUH INDONESIA. Masing-masing dari kami hingga saat ini tidak pernah lupa membagikan apa yang terjadi di wilayah penempatannya. Aku pun sama. Bodo amat, semua yang bilang, ih jauh banget, sendiri nyenye. Allah tahu apa yang terbaik dan terbaik untukku, mengabdi pada negara melalui data sampai pelosok negeri, bersama dengan teman-teman satu angkatan dan kakak-kakak angkatan terdahulu yang sudah merasakan manis-pahit-getirnya penempatan.

Meskipun aku sendiri disini, hampir tiap malam, kami video/voice call melepas rindu. Tidak tahu besok. Saat ini kan masih hangat-hangatnya tahi ayam (ih) terkait penempatan. Penutup, ohiya, jadi ingat salah satu kalimat bahasa Bugis yang dikenalkan saat orientasi di Makassar dan mengandung pesan persahabatan yang sangat dalam, kupersembahkan untuk pembaca semua:
 Rampeka Golla Na Kurampeki Kaluku
Kenanglah Aku Semanis Gula dan Akan Kukenang Kamu Seenak Kelapa

Pinrang, 15 Februari 2020