Persaudaraan, Pengkhianatan, dan Kesetiaan Seorang Kawan
@al
Januari 25, 2014
0 Comments
Pengarang : Tere Liye
Penerbi : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Tahun
Terbit : 2013
Tebal
Buku : 360 halaman
Harga : Rp 55.000,00
Setelah
sukses menghadirkan gebrakan awal yang sangat berkesan dalam karyanya yang
berjudul ‘Negeri Para Pedebah’, kali ini Tere Liye meluncurkan novel
sekuel keduanya yang berjudul ‘Negeri di Ujung Tanduk’ . Novel kali
ini membawa dunia gemerlap suramnya politik sebagai sebagai latar belakang dan
menghadirkan kisah masalah keluarga si tokoh utama yang berkaitan satu sama
lain. Berikut kutipan indah dan puitis prolog yang menggambarkan gambaran awal
bagi calon pembaca :
Di Negeri Ujung
Tanduk
kehidupan
semakin rusak,
bukan karena
orang jahat semakin banyak,
tapi semakin
banyak orang yang memilih tidak peduli lagi
Di
Negeri Ujung Tanduk
para
penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan,
bukan
karena tidak ada lagi yang memiliki teladan,
tapi
mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian
Tapi di Negeri
di Ujung Tanduk
setidaknya,
kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci,
meski habis
seluruh darah di badan, menguap segenap air mata,
dia akan berdiri
paling akhir, demi membela kebenaran
Dengan
hanya bersetting waktu selama 48 jam atau 2 hari 2 malam, rentetan kejadian
menegangkan berhasil dikemas secara luar biasa oleh Tere Liye menjadi 360
halaman. Novel ini menceritakan perjuangan sosok seorang konsultan politik
bernama Thomas. Singkat cerita, akhirnya ia bertemu dengan seorang klien
politik berinisial JD yang akan mencalonkan diri sebagai seorang presiden.
Sebuah pertemuan yang segera merubah sudut pandangnya 180º. Motivasi yang
awalnya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, berubah 180º untuk
memperbaiki kondisi negara yang semakin bobrok, dikarenakan omong kosong
‘penegakan hukum’ yang JD usung terlihat sangat meyakinkan yang membuat
pendirian egoisme seorang Thomas goyah dan berubah. Tetapi, tidak semudah
seperti membalik telapak tangan, perjuangan memperebutkan posisi kursi nomer
satu di negeri ini yang ditempuh ini jauh lebih berat dan tak terbayangkan.
Mereka harus berhadapan dengan ‘mafia hukum’ yang tidak ingin calon presiden
yang mereka usung menang.
Dimulai dari cerita Thomas yang sedang menghadiri konferensi politik di Hongkong, bertarung tinju di Makau, ditangkap di perairan Cina dengan tuduhan memiliki 100kg heroin dan sekarung senjata laras panjang, dijebloskan ke penjara, kabur dari penjara di Jakarta, tiba-tiba mendengar kabar bahwa kliennya, JD, ditangkap polisi dengan tuduhan korupsi mega proyek Gedung Olahraga, bertolak menuju Denpasar untuk meyakinkan peserta konvensi untuk tetap memberikan suara bulat untuk JD agar tetap maju menjadi calon presiden, kemudian kembali ke Jakarta mengatur pertemuan dengan para wartawan senior, pengamat politik, dan komentator untuk membentuk opini publik mengenai JD, lalu memenuhi undangan polisi bintang tiga untuk ‘menyelesaikan permasalahan’ di Hongkong. Tidak luput pula cara luar biasa Thomas dalam lolos di setiap penangkapan oleh oknum.
Sosok Thomas yang dihadirkan sebagai seorang yang cekatan serta mempunyai karisma dalam meyakinkan orang lain, juga penuh rencana saat bertindak, pasti membuat pembaca segera jatuh cinta akan tokoh utama yang dihadirkan oleh Tere Liye ini. Lebih tepatnya menanamkan bibit-bibit ide dan membiarkannya tumbuh sendiri kemudian tersebar di pikiran orang-orang yang diajaknya bicara, seperti penggalan cerdas kata-katanya sbb :
“...
Dia bersumpah akan memberantas hingga
hingga ke akar-akarnya parasit hukum di negeri ini, orang-orang yang
mempermainkan bahkan mengolok-olok hukum itu sendiri. Itu ide besar yang
disukai banyak orang, sekaligus dibenci banyak pihak. Dari ketiga fakta itu, siapa
yang melakukan serangan politik ini? Membunuh karakter klien kami? Jawabannya
adalah kejadian ini jelas melibatkan konspirasi besar dari banyak pihak,
orang-orang akan terganggu jika klien kami menjadi presiden. Aku akan
menyebutnya dengan istilah mafia hukum. ... Mereka bergerak diam-diam,
tidak terlihat oleh siapa pun. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, boleh jadi
ada teman profesi kalian yang menjadi anggota mafia ini.” (Hal.
140-141 ~ Ep. 13 ‘Mafia Hukum’)
“...
Tidak boleh lagi calon presiden hanya
ditentukan oleh mereka, elite politik. Kita semua pemilik partai ini, kitalah
pemilik suaranya, maka kita sendiri yang akan menentukan nasib partai ini,
bukan mereka.” (Hal. 237 ~ Ep. 21 ‘Faksi Konvensi Partai’)
Olahan bahasa cerdas Tere Liye akan membuat pembaca terkagum-kagum akan pemilihan kata dari seorang penulis ulung seperti dirinya meskipun pada awal pergerakan ceritanya nampak sedikit lambat. Tetapi berangsur angsur pembaca akan dijejalkan rentetan kejadian yang tidak akan disangka-sangka. Seperti suasana tenang yang diceritakan ketika berada di kapal pesiar baru milik Thomas bersama Opa dan Kadek-orang kepercayaan serta seorang wartawan review politik mingguan bernama Maryam yang juga turut serta berada dalam kapal tsb setelah susah payah mengejar jadwal Thomas yang penuh, kemudian mendadak berubah dengan dikejutkan dengan kedatangan sekelompok pasukan berpakaian taktis yang mendorong mereka dengan senjata. Anehnya, pasukan tsb menemukan sejumlah besar bubuk heroin, senajata otomatis, granat, dan juga peledak mematikan di kapal miliknya. Segera Thomas menyadari, bahwa seseorang yang berkuasa tengah menjebaknya dengan tuduhan dan berusaha menjatuhkannya.
Hal ini memang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang konsultan keuangan profesional. Dia sedang membantu seorang politikus berinisial JD yang menjadi kandidat terbaik pemilihan presiden. Dari hal inilah kemudian muncul pihak yang kontra akan klien yang Thomas miliki.
Tidak berhenti sampai sana, Tere Liye menghadirkan masalah baru kembali, dimana Thomas harus dikejutkan dengan berita bahwa klien politiknya ditangkap atas tuduhan korupsi besar-besaran yang membuat status JD sebagai kandidat calon presiden dipertanyakan. Namun Thomas tidak langsung berhenti sampai situ. Dia mati-matian membela kliennya karena menurutnya JD adalah orang yang memang pantas untuk menjadi orang nomer satu di Indonesia. Satu dari sekian “omong kosong” paling meyakinkan yang dilontarkan JD yang memutuskan Thomas untuk menawarkan diri bantuan politik sebagai konsultan energi adalah :
“... Kita harus menyadari hal ini. Kita sebenarnya sedang berperang melawan kezaliman yamg dilakukan kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita yang mengambil keuntungan karena memiliki pengetahuan, kekuasaan, atau sumber daya. Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti keranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan. Ini negeri di ujung tanduk, Thomas” (Hal. 116 ~ Ep. 11 ‘Siapa yang pantas dibela?’)
Dikejar-kejar oleh waktu yang terus berjalan, ia harus berhasil meyakinkan anggota partai sebelum konvensi partai besar dibuka. Mafia hukum yang tersembunyi itupun terus berusaha menangkapnya dengan berbagai macam cara dan selalu Thomas berkali-kali pula lolos dari jebakan tsb dengan dibantu oleh banyak rekan yang mempercayai dan mendukungnya, seperti, Maggie, sekertaris sekaligus orang kepercayaannya yang berperan banyak dalam menggali informasi-informasi penting.. Sebelumnya Thomas sudah pula mencari suara dari para wartawan dimana disinilah ia menyebut pertama kali kata ‘mafia hukum’ dengan penggambaran yang luar biasa masuk akal :
“...
Dia bersumpah akan memberantas hingga
hingga ke akar-akarnya parasit hukum di negeri ini, orang-orang yang
mempermainkan bahkan mengolok-olok hukum itu sendiri. Itu ide besar yang
disukai banyak orang, sekaligus dibenci banyak pihak. Dari ketiga fakta itu,
siapa yang melakukan serangan politik ini? Membunuh karakter klien kami?
Jawabannya adalah kejadian ini jelas melibatkan konspirasi besar dari banyak
pihak, orang-orang akan terganggu jika klien kami menjadi presiden. Aku akan
menyebutnya dengan istilah mafia hukum. ... Mereka bergerak diam-diam,
tidak terlihat oleh siapa pun. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, boleh jadi
ada teman profesi kalian yang menjadi anggota mafia ini.” (Hal.
140-141 ~ Ep. 13 ‘Mafia Hukum’)
Disusul penyergapan oleh serombongan orang bersenjata lengkap di kantor Thomas
yang sontak membuatnya kalang kabut. Ia bersama Maryam digiring ke kantor
kepolisian. Penulis kembali memunculkan tokoh baru, kawan tandingnya dulu, Rudi
yang menjabat sebagai komandan kompleks pelatihan. Meskipun berada di situasi
yang sulit, Tere Liye menghadirkan sosok Thomas yang santai :
“Kau gila, Thomas. Bagaimana aku bisa tidur
dalam situasi seperti ini?”
“Mudah. Bayangkan saja kau memiliki
peternakan domba besar, pejamkan mata, bayangkan kau menghitung domba-domba
lucu tsb” (Hal. 217 ~ Ep. 20 ‘Sakit Perut dan Pesawat Militer’)
Selalu
ada 3 versi dalam sebuah kejadian: versiku, versimu, dan FAKTA. Nah, seolah
fakta terpisah dari dua persepsi ini. Fakta adalah fakta. Persepsi bisa jadi
mengandung sedikit, separuh, atau sebagian besar fakta. Bisa jadi sama sekali
tidak.
Yeay. My recomended books!